JAKARTA, KOMPAS.TV - Bank Dunia baru-baru ini merilis data, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194,4 juta orang.
Bank Dunia menggunakan standar baru garis batas kemiskinan, yaitu pengeluaran sebesar 8,3 dolar Amerika per orang per hari atau setara Rp49.244 pada Selasa (10/06/2025).
Dengan perubahan tersebut menyebabkan persentase penduduk miskin di Indonesia menjadi 68,2 persen atau 194,4 juta orang.
Sementara berdasar data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya 8,57 persen dari total populasi atau sekitar 24,06 juta.
BPS menentukan standar kemiskinan berdasar kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan makanan dan komoditas nonmakanan.
Dari perhitungan tersebut, ditetapkan ambang batas garis kemiskinan nasional adalah pengeluaran senilai Rp595.243 per kapita per bulan.
Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Dedek Prayudi perbedaan data dua lembaga tersebut tidak perlu dipertentangkan karena data tersebut dibuat untuk tujuan yang berbeda.
Dedek menyebut, Bank Dunia sendiri dalam rilisnya menyatakan standar garis kemiskinan yang dibuat negara atau data nasional lebih tepat untuk menggambarkan persentase penduduk miskin, serta menjadi acuan pemerintah dalam membuat kebijakan.
Sementara itu, ekonom menilai standar kemiskinan yang menjadi acuan BPS sudah terlalu usang sehingga tidak relevan untuk menggambarkan kondisi saat ini.
Di sisi lain, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Panjaitan juga menginginkan adanya revisi data kemiskinan di Indonesia.
Bagaimana menyikapi perbedaan data kemiskinan Bank Dunia dan BPS, serta apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan data yang akurat, khususnya soal angka kemiskinan?
Kita ulas bersama Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Arif Anshory Yusuf dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Telisa Aulia Falianty.
Baca Juga Istana Jelaskan Beda Data Jumlah Penduduk Miskin Versi BPS dan Bank Dunia di https://www.kompas.tv/nasional/599030/istana-jelaskan-beda-data-jumlah-penduduk-miskin-versi-bps-dan-bank-dunia
#pendudukmiskin #bankdunia #bps
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/nasional/599223/beda-data-kemiskinan-bank-dunia-vs-bps-apa-dampaknya-untuk-rakyat-miskin-dan-program-sosial
Bank Dunia menggunakan standar baru garis batas kemiskinan, yaitu pengeluaran sebesar 8,3 dolar Amerika per orang per hari atau setara Rp49.244 pada Selasa (10/06/2025).
Dengan perubahan tersebut menyebabkan persentase penduduk miskin di Indonesia menjadi 68,2 persen atau 194,4 juta orang.
Sementara berdasar data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya 8,57 persen dari total populasi atau sekitar 24,06 juta.
BPS menentukan standar kemiskinan berdasar kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan makanan dan komoditas nonmakanan.
Dari perhitungan tersebut, ditetapkan ambang batas garis kemiskinan nasional adalah pengeluaran senilai Rp595.243 per kapita per bulan.
Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Dedek Prayudi perbedaan data dua lembaga tersebut tidak perlu dipertentangkan karena data tersebut dibuat untuk tujuan yang berbeda.
Dedek menyebut, Bank Dunia sendiri dalam rilisnya menyatakan standar garis kemiskinan yang dibuat negara atau data nasional lebih tepat untuk menggambarkan persentase penduduk miskin, serta menjadi acuan pemerintah dalam membuat kebijakan.
Sementara itu, ekonom menilai standar kemiskinan yang menjadi acuan BPS sudah terlalu usang sehingga tidak relevan untuk menggambarkan kondisi saat ini.
Di sisi lain, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Panjaitan juga menginginkan adanya revisi data kemiskinan di Indonesia.
Bagaimana menyikapi perbedaan data kemiskinan Bank Dunia dan BPS, serta apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan data yang akurat, khususnya soal angka kemiskinan?
Kita ulas bersama Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Arif Anshory Yusuf dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Telisa Aulia Falianty.
Baca Juga Istana Jelaskan Beda Data Jumlah Penduduk Miskin Versi BPS dan Bank Dunia di https://www.kompas.tv/nasional/599030/istana-jelaskan-beda-data-jumlah-penduduk-miskin-versi-bps-dan-bank-dunia
#pendudukmiskin #bankdunia #bps
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/nasional/599223/beda-data-kemiskinan-bank-dunia-vs-bps-apa-dampaknya-untuk-rakyat-miskin-dan-program-sosial
Kategori
🗞
BeritaTranskrip
00:00BANG DUNIA
00:30BANG DUNIA
01:00Sementara berdasar data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya 8,57 persen dari total populasi atau sekitar 24,06 juta orang.
01:11BPS menentukan standar kemiskinan berdasar kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan makanan dan komoditas non-makanan.
01:18Dari perhitungan tersebut ditetapkan ambang batas garis kemiskinan nasional adalah pengeluaran senilai Rp595.243 per kapita per bulan.
01:31Juru bicara kantor komunikasi kepresidenan Dede Prayudi menyatakan perbedaan data dua lembaga tersebut tidak perlu dipertentangkan, karena data tersebut dibuat untuk tujuan yang berbeda.
01:44Dede menyebut, BANG DUNIA sendiri dalam merilisnya menyatakan standar garis kemiskinan yang dibuat negara atau data nasional lebih tepat untuk menggambarkan persentase penduduk miskin serta menjadi acuan pemerintah dalam membuat kebijakan.
01:59Garis kemiskinan di sebuah negara yang dibuat oleh negara itu lebih appropriate, lebih tepat untuk menjadi dasar policy dialogue atau diskusi tentang kebijakan
02:12dan juga tentang program-program yang menargetkan orang-orang yang paling miskin.
02:20Jadi, BANG DUNIA sendiri juga sudah mengatakan bahwa garis kemiskinan di masing-masing negara itu sebenarnya lebih tepat untuk menangkap profil kemiskinan, terutama untuk membuat kebijakan.
02:33Jadi tidak ada yang perlu dipertentangkan ya, antara dua data tersebut saling melengkapi.
02:37Lagian kalau misalnya data BANG DUNIA itu untuk menangkap profil kemiskinan di Indonesia, data BANG DUNIA itu mengatakan setidaknya dua dari tiga orang Indonesia itu miskin.
02:46Nah ini kan kita bisa melihat sendiri ya, di sekitar kita, apa iya dua dari tiga orang di sekitar kita itu nggak mampu beli makan untuk diri sendiri,
02:55nggak mampu untuk berobat, nggak mampu untuk bersekolah, atau tempat tinggalnya jauh dari layak.
03:04Sementara itu ekonomi nilai, standar kemiskinan yang menjadi acuan BPS sudah terlalu usang, sehingga tidak relevan untuk menggambarkan kondisi saat ini.
03:14Ada banyak hal yang keliru dan tidak lagi relevan bagaimana BPS menghitung kemiskinan hari ini.
03:21Saya kasih contoh, misalkan satu contoh saja, bahwa BPS mengukur berdasarkan pengeluaran, dan itu hutang tidak masuk dalam pengeluaran.
03:30Jadi bisa jadi pengeluaran masyarakat tinggi, tapi pengeluarannya dibayar dengan hutang karena masyarakat terjebak kesulitan ekonomi, harus pinjol, dan lain-lain.
03:39Dan mereka dianggap tidak miskin, begitu. Itu hanya salah satu dari sekian banyak kekurangan metodologi data BPS.
03:47Pak Sumitro, Jayohadi Kusumo, ayah dari Pak Prabowo, itu mendefinisikan kemiskinan, itu dalam bentuk yang lebih kompleks, bukan dengan indikator tunggal.
03:57Jadi berbeda dengan pemaknaan kemiskinan BPS hari ini yang bersifat statis dan bergantung pada indikator tunggal atau pengeluaran.
04:06Di sisi lain, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Panjaitan, juga menginginkan adanya revisi terhadap data kemiskinan di Indonesia.
04:15Bahwa kita harus merevisi mengenai angka ini. Jadi bukan menandakan tidak baik, tapi memang angka ini perubahannya harus betul-betul dilihat lagi.
04:29Dan itu saya kira sudah kita siapkan laporannya pada Presiden. Tidak ada yang aneh di sini, tapi harus memang dilakukan perubahan.
04:36Luhut menegaskan ia telah berkoordinasi dengan BPS untuk mengevaluasi data kemiskinan di Indonesia.
04:45Nantinya, data terbaru akan diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
04:51Tim Liputan, Kompas TV
04:53Halo, bagaimana menikapi perbedaan data kemiskinan Bank Dunia dan juga BPS?
05:03Serta apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan data yang akurat?
05:06Khususnya soal angka penduduk miskin di Indonesia.
05:10Kita ulas bersama anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Ansori Yusuf
05:13dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof. Telisa Aulia Valianti.
05:20Prof. Arief, Prof. Telisa, saat malam.
05:22Malam.
05:23Baik, saya ke Prof. Arief dulu.
05:27Pertama-tama tentu saja mewakili pemberitaan saya akan tanya bagaimana menyikapi perbedaan data dua lembaga ini, Prof. Arief?
05:34Jadi begini, ketika kita bicara standar Bank Dunia, ini harus spesifik ya.
05:39Standar Bank Dunia itu ada tiga, ada satu angka.
05:42Ada garis kemiskinan ekstrim, ada garis kemiskinan standar yang dipakai lower middle income country,
05:48ada standar kemiskinan yang dipakai lower middle income country.
05:50Yang banyak diperbincangan tadi di atas, itu standar kemiskinan yang dipakai upper income country.
05:56Yang dari ekstrim, itu angkanya 3 dolar per hari.
05:59Itu dikalikannya dengan nilai konversi 6 ribu per dolarnya ya.
06:03Bukan 15 ribu, 6 ribu itu sering salah tadi ya.
06:05Tadi 3 dikali 6 ribu berarti 3 dolar dikali 6 ribu berarti 18 ribu per hari.
06:11Itu yang ekstrim.
06:13Kemudian yang lower middle itu 4,2.
06:16Berarti sekitar 25 ribu rupiah per orang per hari.
06:21Lalu yang upper middle income itu 8,3 itu sekitar kali 6 aja ya.
06:27Itu sekitar 50-an ribu lah per hari.
06:30Itu 1,5 juta per bulan.
06:31Nah yang disebut-sebut tadi itu yang paling tinggi.
06:34Itu garis kemiskinan di upper middle income country.
06:36Yang kalau disetarakan dengan rupiah per bulan, itu 1,5 juta per orang per bulan ya.
06:41Nah ini adalah garis kemiskinan yang dipakai di upper middle income country.
06:46Mediannya, kan banyak tuh garis kemiskinan yang dipakai di upper middle income country.
06:50Nah mediannya itu 1,5 juta gitu.
06:52Nah sekarang pertanyaannya, apakah itu cocok untuk Indonesia?
06:56Karena kita sudah upper middle income country.
06:59Problemnya adalah, kita baru upper middle income country-nya itu baru kemarin gitu.
07:04Kita tuh baru 4.800 rupiah per tahun per kapita.
07:09Sementara rentangnya itu bisa sampai 14 ribu tuh upper middle income country.
07:13Jadi menurut saya belum cocok lah dipakai angka yang upper middle.
07:17Tetapi, angka yang kita pakai juga sudah terlalu rendah gitu.
07:21Kenapa sudah terlalu rendah?
07:22Karena angka kita kan 595 ribu per bulan per orang.
07:25Nah itu udah sama dengan garis kemiskinan.
07:28Negara-negara paling miskin yang di upper middle, yang di lower middle, low income.
07:32Itu kan low income tuh 3 itu, angkanya 545 ribu mas.
07:36Jadi bedanya cuma gue ucap doang tuh.
07:38Jadi kayak kecilan.
07:38Jadi udah selalu parah gitu.
07:40Iya yang ideal ya antara itulah.
07:42Oke, tapi sederhananya Prof, jadinya supaya publik juga bisa mencerna pembicaraan kita malam hari ini,
07:49yang harus disesuaikan itu BPS menyesuaikan Bank Dunia?
07:53Atau Bank Dunia yang harus melihat BPS sebenarnya?
07:55Kategorisasi?
07:57Jadi gini, betul sekali garis kemiskinan itu harus mencerminkan kondisi nasional kita.
08:05Oke.
08:06Tetapi Indonesia itu sudah kelamaan tidak di update.
08:0926 tahun masih tidak di update.
08:11Nah, jadi saya sedikit kasih gambaran ya.
08:14Kenapa Bank Dunia kemarin merevisi angkanya dari 2015 menjadi 3 ya?
08:18Oke.
08:19Ya kan? Kenapa coba?
08:20Itu karena dari 23 negara miskin yang jadi acuan, itu 16 negara itu merevisi ke atas.
08:27Oke.
08:28Jadi artinya apa?
08:29Biasa aja negara, bahkan negara miskin pun merevisi ke atas.
08:32Dalam periode 2020, dalam berlima tahun aja udah ada 16 negara dari 23 negara miskin merevisi ke atas.
08:38Kita harus menunggu 30 tahun, masa gitu?
08:40Jadi menurut saya ya, itu jadi pelajaran buat kita gitu.
08:44Artinya BPS yang sudah terlalu lama tidak mengupdate metodologi ini juga harusnya menesuaikan.
08:51Begitulah ya, kira-kira Prof Arief ya?
08:52Ya, kelamaan 26 tahun.
08:53Terlalu lama.
08:55Baik, saya ke Prof Telisa.
08:57Prof, kalau implikasi perbedaan data ini menurut Prof akan berpengaruh tidak terhadap misalnya pendataan masyarakat miskin di Indonesia?
09:06Supaya kan sekarang pemerintah juga sedang memberikan buffer-buffer ya terhadap masyarakat miskin.
09:11Nah apakah itu akan berpengaruh terhadap pendataan masyarakat miskin yang menerima bantuan misalnya?
09:16Ya, itu sudah pasti ya.
09:19Tadi Prof Arief sudah sangat jelas sekali menyampaikan.
09:22Makanya tadi Pak Luhut kan sebetulnya sudah menyampaikan ya, dari pemerintah akan dilakukan evaluasi.
09:27Karena pastinya itu akan mempengaruhi kekebijakan ya.
09:30Karena kan kita punya target itu yang sudah dicanangkan itu kan harus mengentaskan kemiskinan ekstrim.
09:36Sebetulnya hingga 2025 kan diharapkan itu nol ya.
09:40Nah ini kan otomatis kalau misalkan definisi berubah, target-target itu nanti akan menjadi berubah ya.
09:46Nah otomatis kan ini butuh policy-policy lagi, definisi, kemudian redesign ulang juga gitu kan.
09:54Dari program-program pemerintah yang ada untuk, karena angkanya kan berubah jadi bergeser.
09:59Karena metodologi bergeser, tapi intinya adalah sebenarnya gini.
10:03Saya setuju banget tadi bahwa dari Prof Arief juga sudah menyatakan ini sudah kelamaan.
10:07Jadi kan memang namanya metodologi itu harus selalu kita update ya kan.
10:11Untuk menyesuaikan namanya metode itu kan untuk menggambarkan data itu seakurat mungkin.
10:16Nah kalau kita dapat data yang akurat, kita juga ya tujuannya adalah nanti bagaimana kebijakan
10:21atau intervensi kebijakan yang kita lakukan itu juga tepat.
10:24Nah intervensi kebijakan itu untuk mencapai target.
10:27Target kita kan sebetulnya ingin menurunkan kemiskinan ini kan.
10:29Jadi meskipun ini tentu akan lebih berat ya secara teorinya dengan adanya peningkatan threshold kemiskinan ini
10:38yang miskin jadi lebih banyak otomatis nanti misalkan dari sisi anggaran, jumlah anggaran yang dialokasikan kan
10:44harus lebih banyak lagi untuk mencapai target yang lebih naik lagi misalkan.
10:48Tetapi kan itu sebuah konsekuensi.
10:49Jadi nanti kita harus mencari titik tengah juga sih antara politiknya dengan metodologi itu tadi.
10:57Kita pengen dua-duanya tercapai seperti apa.
10:59Nah itu mungkin harus dilihat jalan tengahnya.
11:01Saya pahami tadi karena Prof. Teresa sudah menyinggung soal faktor politik juga.
11:07Saya melihat memang angka yang bombastis misalnya 194 juta masyarakat miskin.
11:11Ini sepertinya juga dikhawatirkan pemerintah memberikan citra yang relatif buruk lah begitu.
11:16Nah bagaimana pemerintah juga bisa mengkomunikasikan bahwa ya ini data real tapi ya ini yang harus kita tangani
11:23masyarakat miskin yang jumlahnya sekian ini yang harus kita tangani.
11:25Bagaimana polanya untuk kedepannya Prof. Teresa kira-kira?
11:31Ya jadi nanti mungkin Prof. Arief bisa menjawab karena yang sekarang di pemerintah ya.
11:36Tapi yang setahu saya pengalaman di pemerintah sendiri bahwa itu memang benar.
11:41Namanya angka kemiskinan itu tidak mungkin lepas dari faktor politik karena itu berkaitan nanti dengan policy dan juga
11:46karena kemiskinan ini kan betul-betul bagian dari janji-janji kampanye juga kan mengetaskan kemiskinan.
11:53Itu adalah bagian janji dari kampanye seorang pemimpin biasanya.
11:57Nah otomatis juga.
11:59Tapi kan di satu sisi itu tadi ya kalau tadi kita harus lihat kondisinya lah.
12:04Tadi kan sudah dijelaskan ini kriteria yang sangat tinggi gitu.
12:08Dengan upper middle income dan lain sebagainya komunikasi kebijakannya itu juga penting.
12:12Jadi selain politik kebijakannya komunikasi kebijakannya juga.
12:15Karena saya yakin masyarakat Indonesia juga sudah sangat well educated ya.
12:20Maksudnya menerima informasi itu dibaliknya itu seperti apa gitu.
12:23Nah tujuannya untuk memicu kita supaya kita lebih tepat lagi dalam mengklasifikasikan.
12:28Dan kemudian membuat kita jadi lebih aware sehingga kita juga memang harus meningkatkan ekonomi kita
12:34supaya kita bisa mengentaskan kemiskinan ini.
12:36Jadi memang harus kalibrasi-kalibrasi lagi bagaimana target-target agar kita lebih sejahtera lagi seperti apa.
12:45Jadi minimal ini jadi memicu kita lah.
12:47Jadi anggaplah yang apa yang Bang Runia sampaikan 194 juta walaupun itu terdengar bombastis.
12:52Tapi setidaknya membuat kita menjadi oh ini kita harus terpicu nih untuk lebih memperbaiki diri lagi
12:57untuk mengejar kesejahteraan masyarakat.
12:59Karena ternyata enggak serendah itu. Kita kan udah senang nih udah mendekati target kemiskinan ekstrim 0%
13:04yang waktu itu ditargetkan 2020 mana.
13:06Tapi ternyata dengan adanya ini berarti kita harus bekerja lebih keras lagi.
13:10Artinya kemiskinannya tuh lebih naik kelas lah istilahnya tuh definisi miskin yang naik kelas itu tadi.
13:17Jadi kita lebih kesejahteraannya lebih tinggi gitu.
13:20Ya walaupun dengan target yang lebih tinggi tadi.
13:22Tapi kita cari yang kita mampu di mana yang sanggupnya gitu.
13:26Baik. Kalau begitu tadi Prof. Telisa bilang komunikasi kebijakannya yang harus bener-bener ditata.
13:32Bagaimana Prof. Arief menjawab hal ini?
13:36Kalau yang dimaksud komunikasi jadi gini.
13:38Kalau kita merefusi gadis kemiskinan ya.
13:40Misalkanlah yang masuk akal yang minimal menurut saya yang ideal ya.
13:44Bukan berarti mengadopsi ya. Minimal.
13:45Karena Indonesia sudah terlepas dari upper middle income.
13:48Tapi minimal. Tandanya harus lebih besar dari lower middle income.
13:52Kenapa lower middle income yang saya jadikan acuan?
13:54Karena tadi upper middle income kita baru saja masuknya.
13:57Berarti ini artinya 4,2 dolar per hari per orang itu equivalent dengan sekitar 765 ribuan.
14:04Antara 700 ribuan.
14:04Jadi minimal 700an, 800an ribu.
14:07Nah kemiskinan kita itu akan menjadi sekitar 20an persen naik.
14:10Nah ini banyak yang khawatir.
14:13Ini akan menjadikan dipolitisasi.
14:15Tapi sebenarnya kan sosialis tadi seperti Mbak Talisa juga bilang.
14:19Asal sosialisasi yang dilakukan dengan baik gitu ya.
14:22Masyarakat akan paham.
14:23Terus kedua, simpel saja.
14:25BPS tinggal mengumumkan garis kemiskinan selama sementara mungkin 5 tahun ke depan 2 versi saja.
14:30Ini gak masalah.
14:31Sebenarnya itu dilakukan.
14:32Jadi itu salah satu bagian dari komunikasi.
14:35Oke.
14:35Itu salah satu bagian dari komunikasi.
14:36Saya ke Prof Talisa lagi terakhir.
14:39Ini kan BPS.
14:40Ini koreksi kalau saya salah.
14:41Dengan tolak ukur pendapatan 2.800 ribu lebih ya per rumah tangga per bulan.
14:48Nah kalau dengan angka sedemikian, ini masih relevan gak mengingat perubahan pola konsumsi masyarakat?
14:55Seperti misalnya meningkatnya konsumsi makanan jahat ini juga sudah berubah sebenarnya.
14:59Ini termasuk perubahan-perubahan yang dibilang harus dirubah juga.
15:02Seperti yang disinggung oleh Prof Aruf bagaimana?
15:04Atau bagaimana Prof Talisa?
15:05Iya.
15:07Jadi yang tadi juga kenaikan yang disampaikan oleh World Bank itu karena ada kenaikan dari biaya hidup juga ya.
15:12Oke.
15:13Jadi memang biaya hidup itu setiap tahun meningkat.
15:14Jadi ada kenaikan harga-harga komoditas.
15:17Jadi kenapa World Bank juga menaikan selain tadi kita bicara kelas kelompok pendapatan.
15:21Juga memang ada revisi akibat dari kenaikan harga-harga komoditas.
15:24Jadi seiring dengan kenaikan harga-harga itu kan otomatis jadi meningkat juga thresholdnya itu.
15:30Jadi memang makanya perlu diupdate itu.
15:33Karena kan kita tahu bahwa harga itu terus dinamis ya.
15:36Harga terus mengalami kenaikan.
15:38Nah jadi terutama juga misalkan medical sekarang itu juga naik ya.
15:42Inflasi medical.
15:43Nah itu kan komoditas.
15:45Tapi kan ini kalau medical mungkin terlalu tinggi levelnya.
15:47Tapi makanan, pangan, ataupun ini yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kenaikan harganya itu tercermin juga.
15:53Jadi itu tentunya makanya butuh updating untuk revisi-revisi itu tadi.
15:59Seperti itu.
15:59Dan saya setuju tadi kalau Prof Arif menyampaikan.
16:03Bahwa mungkin komunikasinya itu sekarang kita mungkin ada dua.
16:06Sementara di era transisi ini kita ada dua yang definisi sebelumnya.
16:10Karena itu mencapai apa sesuai dengan target sebelumnya.
16:13Dengan definisi baru itu nanti jadi berapa.
16:16Jadi supaya masyarakat tahu yang sebelumnya ini yang updating, yang versi updating itu kita sekian persen.
16:21Tapi kalau pakai versi yang lama sebetulnya sudah sekian gitu loh.
16:25Untuk kesinambungan dari polisi historical yang lalu ya.
16:29Menurut saya itu juga satu jalan keluar sih untuk, artinya juga pemerintah aware gitu loh.
16:35Jadi pemerintah mendengarkan masukan-masukan dari para ahli, para ekonom, para masyarakat bahwa ada suara-suara bahwa ini penting untuk,
16:43artinya kita merevisi kebijakan itu untuk lebih baik bersama gitu dari perubahan metodologi tadi.
16:49Iya, jadi intinya pemerintah juga tidak usah khawatir dengan angka yang terkesan bombastis ya 194 juta masyarakat miskin dari Bank Dunia.
16:57Tapi yang penting pemerintah masih bisa tetap fokus untuk menangani pengentasan kemiskinan di Indonesia.
17:03Berapa pun jumlahnya, tapi yang pasti tadi masyarakat miskin yang disebutkan oleh Bank Dunia,
17:09Prof Telisa mengatakan masyarakat miskin yang kualitas hidupnya sudah jauh lebih baik begitu sekarang.
17:14Begitu ya kira-kira Prof.
17:15Baik, terima kasih Prof Telisa, Prof Arief sudah memberikan perspektifnya malam hari ini.
17:18Selamat malam, sampai jumpa lagi.