JAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno melihat saat ini problem kepartaian di Indonesia adalah partai politik diakuisisi elite tertentu untuk kepentingannya.
Maka, Adi Prayitno mengajak masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas dan jangan memilih parpol yang kerja politiknya hanya tiap 5 tahun sekali.
Sebab, tanpa itu semua parpol akan terus menjadikan rakyat sebagai komoditas dan objek jelang Pemilu.
Sementara itu Guru Besar Ilmu Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto melihat masyarakat kita saat ini lemah sekali literasi politik. Padahal Pemilu adalah upaya keterwakilan upaya publik.
Suara kita berarti. Pilihan kita menentukan pemimpin 5 tahun ke depan. Gunakan suaramu dengan bijak, setuju?
https://youtu.be/-vQ5-1cYBe8?si=RxYfnoxB3eFhsXML
#jokowi #psi #gibran
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/talkshow/607057/kritik-kepartaian-di-indonesia-pengamat-sebut-lemahnya-literasi-politik-masyarakat-satu-meja
00:00Masih bersama saya Budiman Kanerjo di satu menjadah forum.
00:07Mbak Siti Suhrom, Mbak Wiwi, kelihatannya ada diskoneksi antara elit partai politik dengan rakyat yang dijadikan obyek pemilu selama lima tahunan.
00:16Bagaimana menyelesaikan diskoneksi itu?
00:18Iya memang kita merasakan sejak pemilu pertama 1999 sampai 2024 berarti 6 kali pemilu nasional kita dengan berbagai perbaikan-perbaikan ya model pemilu yang kita lakukan.
00:37Tidak lain tidak bukan ditujukan untuk memperbaiki kualitas partai kita sebagai pilar penting demokrasi.
00:44Ini asetnya gitu ya negara sekaligus adalah pilar penting tadi itu.
00:51Tapi ternyata memang tidak mudah membangun partai politik melembagakan partai sampai berasumsi kita berargumentasi bahwa dengan pemilu serentak di mana keserentakan tadi itu.
01:03Tidak mudah atau tidak mau?
01:06Ini empirik ya menunjukkan bahwa kalau diserentakkan mungkin akan lebih bukan masalah efisien.
01:13Tapi nanti akan terjadi seleksi alami terhadap partai politik.
01:18Sehingga partai betul-betul yang bagus yang akan terseleksi yang bisa masuk di DPR.
01:25Tapi ternyata masih di atas delapan juga.
01:27Sekitar 10 turun lagi 9 sekarang 8.
01:31Tidak pernah sampai ke 5 kan gitu.
01:34Berarti kapan pelembagaan partai itu?
01:36Ternyata tidak terjadi.
01:38Jadi justru saya menilai di pemilu 2024 yang lalu itu apa yang terjadi dengan partai politik?
01:46Seolah-olah kehilangan hak otonumnya, kedaulatannya untuk memilih, untuk melakukan persiapan dan sebagainya.
01:53Lalu patronase yang sangat kental.
01:56Nah ini semakin menurut saya, semakin membuktikan bahwa sebetulnya partai kurang mengakar.
02:05Apalagi terbukti dengan partai-partai baru yang tidak bisa menunjukkan dirinya bisa bersaing dengan partai yang sudah.
02:11Oke baik, Adi Prayetno.
02:13Gimana Anda sebagai ahli politik menyelesaikan problem keterputusan?
02:18Elit partai dan rakyat di bawah yang dijadikan OBG aja sebelumnya.
02:21Ya saya kira dua hal solusinya. Pertama, partai politik itu harus kembali ke hitohnya.
02:26Kalau kita membaca literatur-literatur politik, kan banyak sekali fungsi partai politik.
02:31Kaderisasi, rekrutmen, kerja politik rakyat, sosialisasi, dan seterusnya.
02:35Kalau ini sudah difungsikan, saya kira partai politik itu nggak peduli siapa yang jadi presiden, siapa yang jadi anggota dawan, dan siapapun yang jadi ketua mereka.
02:43Problemnya adalah partai politik seringkali diakuisisi oleh elit-elit tertentu hanya untuk kepentingan politik mereka.
02:50Jadi tidak mengherankan kalau kemudian per hari ini kita menyaksikan banyak sekali elit-elit partai mungkin sebelum kita lahir, dan sampai kita hari ini pun nggak ganti-ganti orangnya itu.
03:00Bagi saya itu problem yang relatif cukup serius.
03:03Karenanya yang terjadi itu adalah kerja politik setiap lima tahun sekali.
03:08Yang kedua tentu kita membutuhkan masyarakat pemilih yang cerdas.
03:11Adik-adik mahasiswa, jangan pilih partai politik yang jelas-jelas kerjanya lima tahun sekali.
03:16Hukum mereka di 2029, mau calon presiden, mau calon gubernur, bupati, wali kota, termasuk calon anggota dawan, jangan pilih.
03:24Itu yang pasti harus kita munculkan.
03:27Tanpa itu semua, maka partai politik akan menyerahanakan.
03:31Kalau pemilihnya sumbu pendek, tidak bisa dikalkulasi dengan ukuran ukuran nasional,
03:36maka partai politik akan terus menjadikan rakyat itu hanya sebatas tumpangan,
03:41rakyat itu hanya sebatas komoditas, dan rakyat hanya sebatas objek,
03:48Dan melupakan dosa-dosa yang sudah dilakukan oleh partai politik.
03:52Hanya dua hal itu yang paling minggu kita lakukan.
03:54Baik, Bung Hanta, kalau betul analisis dari Adi bahwa rakyat ini hanya jadi objek politik lima tahunan,
03:59apakah tidak mungkin dibikin sebuah sistem di mana rakyat ini boleh menyatakan petisi kepada elitnya?
04:05Apakah petisi dalam bentuk mosi tidak percaya atau mosi percaya?
04:08Untuk mengatasi keterputusan ini.
04:10Demokrasi lebih langsung ya.
04:12Ya, memang kalau bicara partai politik, seperti paradok demokrasi.
04:16Kita tahu partai politik adalah lembaga inti demokrasi, instrumen utama demokrasi.
04:22Tetapi di saat yang sama, justru demokratisasi itu kadang yang paling tidak ada kita lihat di lembaga partai politik.
04:29Misalnya, soal keterputusan antara arena kaderisasi dan rekrutmen politik.
04:34Tiba-tiba jadi calegnya siapa?
04:36Publik datang, pemilih datang ke milik suara itu kan memilih nama yang sudah ditentukan.
04:41Ada seleksi, ada eleksi.
04:43Kita itu hanya terlibat di eleksian.
04:44Seleksinya semuanya sepenuhnya di partai politik.
04:47Nah, bagaimana prosesnya? Itu tidak ada demokratisasi.
04:50Menentukan capres, kita menunggu jam-jam terakhir bagaimana partai berapa segelintir orang menentukan siapa capresnya.
04:56Ditambah proses mengambil keputusannya itu kan sangat bukan hanya oligarkis, tapi sangat personalisasi.
05:03Untuk menyelesaikan urusannya, ini di Indonesia ini kita lihat kan ada di Senayan, DPR.
05:08Padahal jangan-jangannya tujuh orang untuk menyelesaikan urusan.
05:11Ketua umum-ketua umumnya.
05:12Karena itu memang harus ada agenda demokratisasi total.
05:17Sistem berdemokrasi kita dimulainya dari mana?
05:19Kalau bicara, dari partai politik.
05:21Persoalannya kalau memulai di partai politik kan dari regulasi, tadi Mas Budiman katakan.
05:26Yang harus dari DPR dan pemerintah.
05:28Siapa isinya? Partai politik.
05:30Jadi semua muara rekunon politik itu ada di partai politik.
05:33Gimana caranya? Apakah kita menunggu kesadaran dari partai politik melakukan perubahan yang menurunkan melakukan demokratisasi, membuat kekuasaan mereka turun, berkurang, itu agak sulit.
05:45Nah jalan salah satunya, saya setuju ada dua jalan.
05:48Satu dorong undang-undang demokratisasi itu paket undang-undang partai politik.
05:52Bagaimana dipaksa partai politik dalam rekrutmen caleg-calegnya harus melibatkan pemilih.
05:58Bagaimana mentukan capres harus melibatkan pemilih, konvensi misalnya di beberapa partai.
06:02Sisi yang lain perlu dari bawah.
06:04Saya setuju misalnya untuk dipertimbangkan petisi.
06:07Di beberapa negara misalnya di Eropa ada, tidak harus demokrasi perwakilan sepenuhnya, tapi bisa juga langsung.
06:13Dimana bisa melakukan petisi untuk mengajukan undang-undang, membatalkan undang-undang, membatalkan orang yang sedang duduk di DPR.
06:20Jadi perlu dipertimbangkan untuk dibuat sebuah regulasi.
06:23Oke, Kang Gun-Gun, kalau lihat perilaku-perilaku politik, sebetulnya ada juga orang ahli yang mengatakan apa bedanya sih partai politik dengan korporasi politik.
06:32Jadi partai itu adalah perusahaan pengerah politisi.
06:35Iya, padahal sebenarnya kan Mas Bud, partai politik itu kan entitas publik ya.
06:41Berbeda dengan korporasi yang dari awal memang profit ya, kita bicara untuk orientasi keuntungan profit making.
06:48Nah, sementara ada sense of public, ada upaya untuk keterwakilan suara-suara publik, kepentingan publik, dan lain-lain.
06:59Sehingga partai politik menurut saya harusnya hadir dalam urusan-urusan hajat hidup orang banyak.
07:05Oke.
07:05Kan begitu.
07:05Keterputusan itu menurut saya, pertama dari sisi masyarakat, kita lemah sekali literasi politik.
07:14Jadi political literacy mainstreaming itu masih lemah.
07:17Selalu dominannya asumsi bahwa kesuksesan demokrasi diukur dari prosentase datangnya orang ke TPS.
07:28Misalnya sepaya kemarin, 81 persen begitu.
07:32Kemudian dianggap demokrasi sukses.
07:34Padahal kan secara substantif, datangnya orang ke TPS bukan berdasarkan kesadaran tapi mobilisasi.
07:42Apalagi mobilisasi lewat misalnya sesuatu yang sangat pragmatis dan merusak seperti vote buying.
07:48Itu tentu akan merusak demokrasi.
07:50Makanya saya melihat bahwa negara demokrasi akan menguat.
07:54Salah satu ikhtiarnya adalah political literacy mainstreaming harus kuat.
07:59Memang resikonya pada demokrasi prosedural seperti datangnya orang ke TPS bisa jadi menurun.
08:05Karena di rata-rata negara yang maju, itu belum tentu partisipasi konvensional datang ke TPS itu lebih dari 60 persen.
08:12Tapi kritisisme, kemudian juga keberanian orang untuk berdaya seperti memberikan petisi.
08:18Dan ada perlindungan petisi itu juga diakui secara regulasi.
08:22Sekarang kan kita melakukan petisi misalnya, berapa juta orang terlibat, itu tidak mengikat apapun.
08:27Karena tidak ada undang-undang yang memayunginya.
08:29Moral tapi kan?
08:30Nah hanya moral.
08:31Makanya ke depan mungkin perlu dipikirkan juga bahwa petisi itu bisa mengikat.
08:37Juga bisa misalnya ada keterwakilan publik untuk memveto kebijakan-kebijakan publik yang memang tidak relevan dengan sense of public tadi.
08:47Makanya Mas Bud menurut saya salah satu kelemahan secara institusional di partai politik adalah kaderisasi, pendidikan politik, dan payung hukum yang kerap kali menjadi mainan temporer.
08:58Jadi ini aturan misalnya undang-undang pemilu dan segala macam sistemnya, itu selalu ada ruang bolong untuk menyisakan menjadi political game di lingkaran elit.
09:10Sementara kemudian publik tetap ada persoalan-persoalan regulernya yang setiap lima tahun berulang terus seperti berada di Pita Mobius.
09:17Tidak ada penyelesaian dari setiap akhir perjalanan pemilu elektoral di lima tahunan tadi.
09:23Oke, baik Kang Gunggun, Mas Adi, dan Mbak U, Pak Hanta.