Lewati ke pemutarLewatkan ke konten utamaLewati ke footer
  • 19/5/2025
Suasana penuh kehangatan dan Nilai Budaya Lokal mewarnai kegiatan sosialisasi pencegahan bullying dan kenakalan remaja yang digelar oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Atambua di SMP Negeri 2 Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu 17/05/2025.

Kedatangan rombongan DPC Peradi Atambua disambut meriah oleh siswa-siswi dan pihak sekolah dengan upacara penyambutan adat khas Belu.

Tarian likurai dan sirih pinang Serta Hase hawaka sebagai simbol penghormatan mempererat nuansa budaya dalam kegiatan tersebut.

Penyambutan ini menjadi bukti nyata bahwa nilai adat dan tradisi masih dijunjung tinggi di kalangan generasi muda Belu.

Kegiatan sosialisasi yang merupakan bagian dari program "Peradi Masuk Sekolah" ini menghadirkan tiga narasumber utama: Melkianus Conterius Seran, S.H., M.H., C.Me, Ketua DPC Peradi Atambua; Kornelius D. Talok, S.H., Sekretaris DPC Peradi Atambua; dan Patrianus Bramdon Maubere, S.H., M.H., Ketua Pusat Bantuan Hukum Peradi Atambua. Acara dipandu oleh moderator Norbertus Kehi Bria, S.H.

Program ini merupakan hasil keputusan Rapat Anggota Cabang Tahun 2025 dan terus dilaksanakan sebagai bentuk komitmen Peradi Atambua dalam memberikan pencerahan hukum kepada generasi muda di lingkungan pendidikan.

Dalam paparannya, Ketua DPC Peradi Atambua, Melkianus Conterius Seran menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menanggulangi masalah bullying dan kenakalan remaja.

“Kita butuh pendekatan integral dan holistik dari sekolah, keluarga, masyarakat, pemerintah hingga organisasi profesi seperti Peradi. Kita semua punya peran strategis,” ujarnya.

MCS menjelaskan strategi penanggulangan bullying terbagi dalam dua kebijakan utama: kebijakan non-penal yang bersifat preventif, dan kebijakan penal yang bersifat represif.

Kebijakan non-penal dilakukan melalui penyuluhan hukum dan pembentukan komunitas remaja anti-bullying, sementara kebijakan penal melibatkan pemberian sanksi hukum yang berlandaskan pada prinsip keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.

“Keadilan korektif menitikberatkan pada pemberian sanksi terhadap pelaku, keadilan restoratif menitikberatkan pada pemulihan hak korban melalui proses damai, dan keadilan rehabilitatif fokus pada pemulihan baik pelaku maupun korban,” terang Melkianus.

Ia juga menekankan pentingnya perspektif hukum yang lebih manusiawi, dengan pendekatan “Poena et poena, poena et medicina” – hukuman tidak hanya sebagai bentuk balasan, tapi juga sebagai penyembuhan.

“Anak-anak yang melakukan bullying harus kita lihat sebagai pribadi yang butuh bimbingan, bukan semata pelaku yang harus dihukum. Kita ingin menyelamatkan generasi,” pungkasnya.

Kategori

🗞
Berita
Transkrip
00:00musik
00:30selamat menikmati
01:00terima kasih
01:30terima kasih

Dianjurkan