Di layar kaca dan ponsel kita, dunia terlihat seperti luka yang terus menganga. Bom meledak di tempat yang bahkan dulu pernah disebut suci. Tangisan anak-anak menggema di antara puing-puing. Kebenaran dan kemanusiaan seolah kalah oleh ambisi, politik, dan senjata. Lalu kita bertanya, masih adakah kebahagiaan di dunia seperti ini?
Jawabannya tidak mudah. Tapi justru dalam gelapnya zaman, cahaya kecil bernama harapan menjadi lebih nyata. Kebahagiaan mungkin tidak lagi hadir sebagai tawa tanpa beban, tapi sebagai hal-hal kecil yang tetap hidup: tangan yang menggenggam erat di tengah kepanikan, sepotong roti yang dibagi saat lapar, atau seseorang yang memilih tidak membalas kebencian dengan kebencian.
Konflik dan perang bukan hanya tentang peluru dan darah. Ia juga tentang ketakutan yang menyusup ke kehidupan sehari-hari: ketakutan akan masa depan, akan kehilangan, akan makna yang hilang. Tapi justru di situlah letaknya pilihan. Kita masih punya pilihan.
Kita bisa memilih untuk tetap peduli saat dunia makin dingin. Kita bisa memilih untuk bersuara saat ketidakadilan jadi biasa. Kita bisa memilih untuk menyalakan lilin kecil, bukan karena lilin itu akan menerangi seluruh dunia, tapi karena ia cukup untuk menjaga nurani kita tetap hangat.
Bahagia di dunia yang luka mungkin tidak selalu besar, tapi ia tetap ada—di dalam pelukan orang tua pada anaknya, dalam lagu yang dinyanyikan diam-diam di tempat pengungsian, dalam langkah kaki yang tetap berjalan meski hati gentar.
Selama manusia masih punya cinta, empati, dan keberanian untuk memilih hal yang benar, maka dunia belum kehilangan sepenuhnya kebahagiaan. Ia hanya bersembunyi, menunggu kita menemukannya—di tempat-tempat yang tak kita duga, dalam hati yang tetap berani berharap.