Pemegang Rekor Renang ASEAN Paralympic asal Sumsel

  • 8 tahun yang lalu
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Atlet difabel cabang olahraga renang milik Provinsi Sumatera Selatan, Jendi Pangabean (24), yang juga pemilik rekor ASEAN di nomor 100 meter gaya punggung dan 200 meter gaya ganti, tahun ini siap menghadapi dua kejuaraan renang dunia sekaligus.

Bulan Mei mendatang, putra kedua pasangan Akmal Yasbudaya dan Misrawati ini akan mengikuti kejuaraan dunia di Portugal, disusul dengan Olimpiade Paralympic di Rio de Janeiro.

Persiapan menuju kejuaraan tersebut bukan tanpa alasan, dia ditunjuk Indonesia untuk mewakili tim garuda dikarenakan perolehan medali pada Asean Paragames 2015 di Singapura, mendulang 3 emas, 2 perak, dan 1 perunggu.

Saat ini, Jendi tengah fokus latihan menghadapi lomba, dibantu beberapa pelatihnya.

Jendi setiap hari berlatih dua jam di kolam akuatik Jakabring untuk terus mengasah skil kemampuannya.

Pengalaman mengikuti lomba antar dunia sudah dilakoninya sejak tahun 2013 atau saat Asean Paragames di Myanmar, kekinian dirinya juga baru saja mengikuti kejuaraan renang dunia di Skotlandia kendati tidak meraih medali.

Persaingan antara atlet Indonesia dengan dunia memang masih terbilang belum setara, sebab porsi dan fasilitas latihan juga selama ini belum memadai.

Namun dirinya tetap optimis hal tersebut tidak mengurungkan niat dia untuk meraup medali sebanyak-banyaknya.

Menurutnya, pembinaan yang diberikan National Paralympic Committe Indonesia (NPCI) sudah maksimal dan dirinya terus ingin membawa nama renang Indonesia, ditakuti oleh negara lain dengan prestasi yang dihasilkannya.

Jendi sendiri adalah atlet andalan Indonesia selain Agus dari Jateng, Musa dan Polipus dari Papua.

Bahkan dia setiap kali mengikuti lomba selalu turun di 6 kelas berbeda.

Mulai dari renang 50 meter, 100 dan 200 meter, seluruhnya saat diikuti pasti meraih medali.

Jendi juga bersyukur atas anugerah yang diberikan Tuhan, kendati tidak memiliki kaki kiri dia bisa membantu kehidupan orangtuanya di Desa Sugiwaras Kabupaten Muaraenim, kesehariaan orangtua sebagai petani menjadi pemicu dia untuk terus berprestasi. (*)