Perkembangan hubungan diplomatik antara negara-negara Timur Tengah dan Israel adalah fenomena kompleks yang telah mengubah dinamika politik di kawasan tersebut, dan sayangnya, seringkali membuat perjuangan Palestina untuk kemerdekaan terasa semakin terisolasi. Beberapa faktor utama menjelaskan mengapa banyak negara Arab dan Muslim kini memilih untuk menjalin hubungan dengan Israel, bahkan ketika isu Palestina masih belum terselesaikan: 1. Kepentingan Geopolitik dan Keamanan Bersama: Ancaman Iran dan Ekstremisme Salah satu pendorong terbesar di balik normalisasi hubungan adalah persepsi ancaman bersama dari Iran. Banyak negara Teluk, khususnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain, memandang Iran sebagai kekuatan regional yang destabilisasi melalui program nuklirnya, dukungan terhadap proksi bersenjata (seperti Houthi di Yaman atau Hizbullah di Lebanon), dan ambisi hegemoniknya. Israel memiliki kekhawatiran serupa terhadap Iran. Oleh karena itu, menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dipandang sebagai cara untuk membentuk front persatuan melawan Iran. Israel memiliki kemampuan intelijen dan militer yang canggih, dan kerja sama keamanan dengan Israel dianggap dapat memperkuat posisi negara-negara Arab dalam menghadapi pengaruh Iran. Selain Iran, ancaman ekstremisme transnasional seperti ISIS dan Al-Qaeda juga menjadi perhatian bersama. Kerja sama intelijen dan keamanan dengan Israel dapat membantu negara-negara ini dalam memerangi kelompok-kelompok teroris tersebut. 2. Keuntungan Ekonomi dan Teknologi: Diversifikasi dan Modernisasi Israel adalah negara yang maju dalam bidang teknologi, inovasi, dan kewirausahaan. Negara-negara Teluk, yang sedang berupaya mendiversifikasi ekonomi mereka dari ketergantungan minyak, melihat Israel sebagai mitra potensial yang dapat menyediakan investasi, keahlian teknologi, dan peluang perdagangan baru. Kesepakatan-kesepakatan seperti Abraham Accords telah membuka jalan bagi kerja sama di berbagai sektor seperti pertanian, air, energi terbarukan, siber, dan teknologi medis. Potensi keuntungan ekonomi ini sangat menarik bagi negara-negara yang ingin memodernisasi dan mengembangkan sektor non-minyak mereka. 3. Pergeseran Prioritas dan Kelelahan Isu Palestina Seiring berjalannya waktu, isu Palestina, meskipun masih penting secara simbolis, mulai menghadapi "kelelahan" di mata beberapa pemimpin Arab. Generasi baru pemimpin di beberapa negara Teluk mungkin tidak memiliki ikatan emosional yang sama dengan isu Palestina seperti generasi sebelumnya. Mereka cenderung lebih pragmatis dan fokus pada kepentingan nasional mereka sendiri, termasuk stabilitas regional dan pembangunan ekonomi. Ada pula pandangan bahwa Palestina sendiri perlu mereformasi kepemimpinan mereka dan menyajikan front yang lebih bersatu untuk mencapai tujuan mereka. Frustrasi atas perpecahan internal Palestina (antara Fatah dan Hamas) dan kurangnya kemajuan dalam proses perdamaian juga berkontribu