Bedah Editorial MI: Jalan Maslahat Omnibus Law

  • 4 tahun yang lalu
SEMANGAT masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja begitu menggelora. RUU yang mengadopsi skema omnibus law itu mendapat sorotan sejak pemerintah mulai menyusun draf.



Begitu sampai ke tangan DPR, draf RUU Cipta Kerja kebanjiran kritik dan masukan. Poin-poin koreksi yang disampaikan para pemangku kepentingan lebih terarah dengan mulai terbukanya akses publik terhadap draf RUU tersebut.



Aktivis lingkungan mengkhawatirkan dampak penghapusan kewajiban izin lingkungan yang semula tercantum pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengamat perumahan mempertanyakan diperbolehkannya warga negara asing mendapatkan hak milik atas satuan rumah susun.



Selain itu, pakar hukum tata negara mengingatkan agar RUU dalam gerbong omnibus law tidak menabrak sistem hukum. Peringatan itu merujuk ke ketentuan Pasal 170 pada draf RUU Cipta Kerja yang membuka peluang pemerintah mengubah ketentuan undang-undang tanpa melihatkan DPR.



Kritik paling keras datang dari kalangan serikat pekerja. Poin-poin seperti perubahan penetapan upah minimum, pesangon, kebijakan cuti, ketentuan kontrak pekerja, dan jam kerja dinilai memberatkan penerima upah.



Ada serikat pekerja yang lantas mengeluarkan ancaman bakal menggelar demonstrasi besar-besaran apabila parlemen mengesahkan RUU Cipta Kerja. Semangat membela kepentingan pekerja tentu kita apresiasi. Meski begitu, jangan sampai terlampau bersemangat hingga kebablasan.



Banyak di antara kita yang sepertinya lupa bahwa proses pembentukan RUU Cipta Kerja masih berjalan. Bahkan sejauh ini baru akan memasuki pembahasan tingkat I di DPR. Dengan besarnya perhatian masyarakat, hampir bisa dipastikan ketika rampung dibahas DPR bersama pemerintah, isi RUU tersebut akan banyak berubah.



Draf RUU Cipta Kerja masih mentah sehingga peluang perubahan terbuka lebar. Bukan hanya substansi, draf RUU Cipta Kerja sangat mungkin memuat penyusunan redaksional yang keliru sehingga harus diperbaiki.



Tentu saja, perubahan-perubahan sangat bergantung pada seberapa besar aspirasi para pemangku kepentingan terakomodasi. DPR telah memastikan akan membuka saluran aspirasi bagi semua elemen yang berkepentingan. Ada mekanisme rapat dengar pendapat umum dalam tahap pembahasan tingkat I di DPR yang dapat dimanfaatkan.



Kita juga perlu mengingatkan DPR agar menjaga keterbukaan selama pembahasan RUU. Komunikasikan kepada publik setiap substansi ataupun perubahan yang disepakati bersama pemerintah. Dengan begitu, masyarakat luas dapat ikut mengawal dengan mata terbuka. Tidak lantas dibutakan kesimpangsiuran informasi akibat minimnya transparansi.



Ketika pada akhirnya undang-undang disahkan, pihak-pihak yang merasa dirugikan atau aspirasinya tidak terakomodasi juga tidak perlu merespons secara berlebihan. Langkah-langkah pemaksaan kehendak sering kali hanya akan merugikan masyarakat sendiri.



Undang-undang bukan kitab suci yang terlarang untuk diubah. Bila tidak puas, masih ada mekanisme uji materi di Mahkamah Konstitusi. Toh, pengubahan undang-undang yang berdasarkan pada putusan MK bukan hal yang langka. Jangan belum-belum sudah menyerah hingga berangasan menggelar demonstrasi yang rawan memancing kerusuhan.



Tunjukkan bahwa bangsa ini secara beradab mampu melahirkan gerbong besar undang-undang yang memberikan kemaslahatan bagi rakyat.
Bedah Editorial MI: Jalan Maslahat Omnibus Law